Menulis untuk hidup…

Hari ini aku bertekad untuk tetap hidup dengan tulisan. Rasanya, sudah banyak episode kehidupanku yang berlalu, namun semua itu hanya ada dalam memoriku. Sepertinya semua episode itu perlu kutulis kemudian kusharing dengan orang lain, karena bisa jadi ini lebih bermanfaat daripada sekedar bersemayam di dalam memoriku. Aku ingin mengabadikan semua itu dalam bentuk tulisan. Kamu setuju kan?

Sebenarnya aku sangat senang menulis. Tapi itu dulu, kira-kira 3 tahun yang lalu. Saat aku masih aktif sebagai wartawan media di kampusku. Namun karena suatu dan lain hal, dunia itu kutinggalkan, dan sekarang ini ada kerinduan yang membara untuk kembali ke dunia tulis menulis, dunia yang sebenarnya telah menjadi duniaku sejak dulu sebagai akademis, wartawan dan “manusia biasa” yang mau hidup.

Menulis sebenarnya tidak terlalu sulit, karena bisa dikerjakan kapan saja dan dimana saja. Terkadang “ide tulisan” sering dikeluhkan oleh penulis pemula sepertiku, tapi ide kan ada dimana-mana. Ide itu ada di jalan, di bis kota, di kafe, di bandara, di kampus di ruang diskusi, di tempat santai, dll, tinggal bagaimana mengumpulkan ide itu kemudian diracik menjadi tulisan yang “renyah” dan enak dibaca, jadi tidak ada alasan untuk tidak menulis. Kegiatan tulis-menulis ini juga untuk menebus dosa-dosaku yang lalai memanfaatkan waktu yang dianugerahkan Tuhan kepadaku. Semoga aku bisa menebusnya untuk diriku, keluarga, masyarakat dan bangsaku.

Sebagai motivasiku dalam kegiatan menulis kali ini, aku ingin menjadi penulis terkenal 2012 mendatang. Bloggers pasti senang kalau namaku masuk dalam 10 penulis terkenal di Indonesia? (mimpi kale J). Ini azamku, dan semoga seluruh alam bersatu membantu merealisasikan cita-citaku. Bantu aku ya, please dunk! Hehe J

Cairo, 14 Agustus 2008, 22:00

Berjiwa Pemimpin

Pemimpin adalah hal mutlak dalam sebuah negara atau organisasi. Ibarat sebuah kapal, maka ia adalah nahkodanya. Ia berperan penting dalam menentukan arah pelayaran, corak dan warna kapal serta pelabuhan mana saja yang akan disinggahi selama berlayar. Ia juga penentu kebijakan bagaimana penumpang kapal yang terdiri dari nahkoda dan Anak Buah Kapal (ABK) bisa bertahan hidup selama berlayar, termasuk hal-hal yang sederhana seperti makan, minum, kesehatan, istirahat dan hiburan ringan yang bisa mengembalikan semangat hidup dan lain sebagainya. Nampaknya sangat sederhana, tapi penuh dengan tantangan dan rintangan yang datang silih berganti, belum lagi ombak yang tidak bersahabat membuat nahkoda dan ABK harus melek lebih dari waktu yang ada. Lengah sedikit saja, bisa menyebabkan kapal karam bahkan tenggelam, apalagi sang nahkoda dan ABK belum mampu bekerjasama dalam menghadapi rintangan yang menerpa kapal, sangat bisa dipastikan bahwa semua penumpang akan mati tenggelam karena pengolahan sistem dan manajemen yang kurang proporsional.

Dalam menghadapi ombak besar inilah, sang nahkoda akan diuji kepemimpinannya. Ia tidak boleh gegabah dalam bertindak, harus memperhatikan wacana yang berkembang di grass root dan mesti bijak dalam mengambil keputusan. Karena ia menjadi pemimpin bagi orang lain (ABK) –bukan lagi memimpin diri sendiri atau komunitas tertentu-, maka ia mesti membuka telinga dan mata lebar-lebar agar semua aspirasi kultural bisa terakomodir sehingga dalam kondisi kritis bagaimanapun ia mampu membuat keputusan yang cepat dan tepat sasaran.

Sebagai ilustrasi, umpamanya, seorang nahkoda membawahi 200 ABK. Masing-masing bekerja sesuai dengan kemampuan dan fungsinya. Ada yang bertanggung jawab mengurusi layar, ada yang bertanggung jawab mengontrol mesin, ada yang bertanggung jawab menjaga kebersihan, ada yang bertanggung jawab mengisi bahan bakar, ada yang bertanggung jawab melempar jangkar, ada yang bertanggung jawab memberi peringatan kalau ada bahaya, dan seterusnya. Dalam menuju pulau impian, seorang nahkoda yang cerdik tidak hanya mendengarkan komentar dan gagasan ABK yang bertugas mengurusi layar tanpa melihat mereka yang mengisi bahan bakar. Atau hanya memperhatikan ABK yang bertugas mengontrol mesin tanpa memperhatikan mereka yang bertugas memberi peringatan kalau ada bahaya. Setiap ABK berhak menyampaikan saran dan kritik kepada sang nahkoda selama masih dalam batas-batas kewajaran dan sesuai dengan prosedur yang ada, kemudian sang nahkoda memutuskan apa yang mesti dikerjakan agar kapal tetap selamat berlayar sampai ke pulau impian.

Tentunya, setiap orang memiliki peluang menjadi pemimpin. Kalaupun tidak bisa menjadi pemimpin negara atau organisasi, minimal menjadi pemimpin dalam sebuah masyarakat kecil (keluarga) ataupun menjadi pemimpin diri sendiri. Oleh sebab itu, jiwa-jiwa kepemimpinan (jujur, bijaksana, tegas, tanggung jawab dan peka sosial) harus senantiasa terpatri dalam sanubari agar bisa mencintai dan dicintai orang lain.

Menjadi pemimpin yang dicintai rakyat bukan hal yang mudah meskipun juga tidak sulit. Perlu berproses. Saya kira kita sepakat bahwa pemimpin bukan Dewa. Ia hanya manusia biasa yang diberi amanah untuk membangun peradaban. Ia juga bukan pelayan yang hanya mengurusi dapur, kamar mandi dan kamar tidur. Tapi lebih dari itu, ia adalah bagian dari agen perubahan yang mengabdi untuk rakyat demi kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, perlu kesadaran kolektif dalam membangun sebuah negara atau organisasi, bukan hanya kesadaran pemimpin sebagai atasan tapi juga kesadaran rakyat sebagai bawahan. Kesadaran ini akan muncul bila pemimpin dan rakyat sudah mengerti hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Ada satu ungkapan menarik yang bisa menggambarkan pengabdian kita terhadap negara atau organisasi: "Don’t ask what your country can do for you, but ask what you can do for your country!"

Sungguh, saya sangat prihatin dan kecewa dengan prilaku para pemimpin bangsa ini yang masih berpikir sektarian dan individualis, padahal problematika bangsa semakin bertambah. Belum lagi nasib umat Islam yang sering menjadi korban pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Maka wajar kalau sampai detik ini kita belum merasakan kebangkitan Islam. Al islam mahjubun bil muslimin. Persoalan umat Islam ada pada umat Islam sendiri. Dengan kata lain, kalau umat Islam dianggap belum bangkit, maka yang harus ditengok terlebih dahulu adalah rumah tangganya sendiri sebelum menengok pekarangan orang lain.

Drs. S. Yunanto, M.Si. dalam pengantar buku "Pintu-Pintu Menuju Kebangkitan Islam dan Indonesia" menegaskan bahwa ada empat indikator yang menyebabkan umat Islam tidak segera bangkit. Pertama, umat Islam belum sepenuhnya merasa sebagai umat, karena masing-masing kelompok dan aliran merasa pendapat dan caranya yang paling benar. Kedua, umat Islam cenderung melihat perbedaan dan kelemahan kelompok umat Islam lainnya. Hanya sedikit upaya untuk mencari kesamaan dan agenda bersama yang menjadi benang merah antara kelompok-kelompok dalam Islam. Ketiga, semangat belajar umat Islam lebih tereksploitasi kepada pendekatan-pendekatan tekstual, romantisme sejarah dan mengesampingkan aspek-aspek analitis yang berpijak kepada realitas yang paling dekat dan dialami oleh masyarakat muslim sekitarnya. Umat Islam memiliki masa lalu, tetapi kehilangan masa kini dan masa depan. Keempat, lemahnya kepemimpinan kaum muslimin. Kepemimpinan yang lemah adalah kepemimpinan yang gagal mendayagunakan seluruh potensi sumber daya (alam, manusia dan ideologi) untuk mencapai tujuan umat. Pemimpin kaum muslimin yang ada sekarang hanyalah pemimpin simbolis, primordialistik yang justru semakin memperkuat kelompok, goloran dan aliran.

Saya kira apa yang diungkapkan oleh Bapak Drs. S. Yunanto, M.Si di atas adalah tantangan bagi kita yang notabenenya pelajar dan mahasiswa Al-Azhar. Kita adalah pemimpin umat masa depan. Persaingan hidup semakin kompetitif dan selektif. Kita perlu mempersiapkan diri sejak dini. Dan apapun wujud dan aktifitas kita, dengan segala kekurangan yang ada, kita tetap berbuat menuju kesempurnaan manusia yang lebih bertakwa. Maka, waspadalah!